Sedikit Cerita Dari Keluarga di Yogyakarta...
Mei 17, 2015Kediaman Keluarga Pak Bambang (Foto: dokumentasi seorang kawan) |
Pada suatu siang, saya dan
seorang kawan dari Mataram berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu rumah warga
yang berada di kawasan pesisir Pantai Selatan.
Akses jalan yang masih berbatu
dan cukup jauh dari keramaian menjadi pembuka perjalanan kami menuju lokasi
tujuan. Rumah mungil berdindingkan bilik bambu dan beralas pasir hitam ala pesisir
pantai itu berada di Desa Pleret, Kec. Panjatan, Kab. Kulonprogo, Yogyakarta.
Sesampainya disana, kami menemui sepasang
suami istri pemilik rumah, Pak Bambang Trimurti dan Ibu Suminah. Saya dan kawan
pun segera menghampiri seraya memperkenalkan diri.
Pak Bambang dan Ibu Suminah
menyambut hangat kedatangan kami. Di beranda rumah mungilnyalah saya duduk
bersama dengan keluarga bersahaja ini.
Ditemani dengan beberapa gelas
kopi buatan sang anak, saya dan kawan mulai membuka perbincangan. Pak Bambang
dan sang istri pun terlihat tak segan untuk berbagi cerita kepada tamu asing
seperti kami.
Hidup sederhana menjadi hal yang
biasa bagi keluarga ini. Penghasilan dari berjualan barang bekas yang tak
seberapa ini pun harus rela dibagi-bagi, untuk keperluan sehari-hari hingga
keperluan sekolah anak-anaknya tercinta.
Ya, Pak Bambang dan sang istri
tercinta terpaksa harus menjalani profesi sebagai penjual barang bekas. Penghasilannya
pun tak banyak, hanya 25-30 ribu rupiah saja perharinya. Itupun belum tentu
didapatnya setiap hari.
Semenjak patahnya tulang punggung
akibat kecelakaan lalu lintas tahun 2004 silam, pak Bambang tak lagi bisa
bekerja setiap hari. Ia bahkan pernah hanya bisa terbaring di tempat tidurnya
hingga 8 tahun sejak kecelakaan naas itu menimpa dirinya. Sejak saat itulah
sang istri mencoba menggantikan posisinya sebagai pencari nafkah, dan hingga
saat ini keduanya saling bergantian antara mencari nafkah dan menjaga
anak-anaknya di rumah.
Meski selalu berada dalam
kesederhanaan, Pak Bambang dan istri tercinta tak pernah putus semangat. Apalagi
dalam hal memberikan hak pendidikan kepada keempat orang anaknya.
“Apapun saya lakukan buat
anak-anak, bahkan saya rela berhutang agar anak saya bisa tetap sekolah,” ujar
pria kelahiran tahun 1960 silam ini. Hal tersebut juga diakui sang istri.
Anak pertama keluarga Pak Bambang
adalah laki-laki. Kini, putra sulungnya itu tengah melanjutkan sekolah di salah
satu sekolah kejuruan di daerahnya. Dan salah satu hal yang membuat saya takjub
adalah, jarak yang harus ditempuh oleh putra pertama Pak Bambang ini. Bukan main-main,
15 kilometer sekali jalan (dari rumah menuju sekolah), artinya, 30 kilometer
adalah jarak setiap harinya yang harus ditempuh oleh si anak. Edyan!!
Bandingkan dengan anak-anak di
kota-kota besar saat ini. Berjalan jauh sedikit saja pasti mengeluh. Pergi agak
jauh sedikit saja pasti merengek minta diantar menggunakan kendaraan bermotor. Kontras
sekali perbandingannya dengan putra sulung keluarga Bambang ini yang setiap
harinya menempuh jarak jauh hanya dengan menggunakan sepeda ontel.
Saat berkunjung itu saya tidak
sempat bertemu dengan putra pertama Pak Bambang. Namun yang saya tahu (dari
orang tuanya), namanya adalah Jati Gustiar, sekolah di SMKN 2 Pengasih, dan
bercita-cita ingin menjadi polisi. Ya, semoga mimpi Jati bisa terwujud, dan
bisa menjadi pengayom masyarakat yang baik nan adil. Aamiin.
Ketiga anak keluarga Bambang
lainnya adalah perempuan. Yang kedua dan ketiga masing-masing tengah duduk
dibangku kelas 6 dan kelas 3 sekolah dasar (saya lupa menanyakan namanya). Sedangkan
si kecil bungsu, Yukitata Pertiwi, baru menempuh pendidikan di Taman
Kanak-kanak.
Ya, meski berada di posisi serba
keterbatasan, pak Bambang dan istri pun tetap menyimpan harapan agar bisa
menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang tertinggi.
Beruntung, keluarga pak Bambang
(dan beberapa keluarga lain di desanya) ternyata juga mendapat sedikit bantuan
dari pemerintah. Walaupun memang bantuannya tidak banyak, hal tersebut ternyata
dirasa mampu untuk mengurangi beban biaya keluarga. Terutama beban biaya
pendidikan anak-anaknya. Alhamdulillah…
“Hidup kok bingung? Kalo saya
ditanya gitu, meski saya bingung, ya saya ga bingung, mas. Saya itu sudah
sempurna, tubuh saya masih lengkap. Alhamdulillah, kita-kita ini masih dikasih
yang sempurna. Rejeki itu kan sudah ada yang ngatur. Saya mah bilang apa adanya saja, yang penting
tidak korupsi,” ujar Pak Bambang sambil tersenyum.
Siang itu, saya merasa beruntung
bisa bertemu dengan Ibu Suminah, Pak Bambang, dan anak-anaknya. Banyak cerita dan
pelajaran yang bisa saya ambil dari perjalanan hidup keluarga kecil ini. Dan menyenangkan
rasanya bisa berada di antara mereka, dan syukur-syukur bisa turut
membahagiakan mereka.
Sayang, saat itu waktu saya tidak
banyak, saya dan seorang kawan ini harus kembali melanjutkan perjalanan lagi.
Tepat sebelum azan zuhur,
perbincangan bersama keluarga pak Bambang pun kami akhiri. Tak lupa
menyempatkan foto bersama untuk kenang-kenangan perjalanan..hehe
Ya, meski tidak ada sesuatu yang berarti
yang bisa saya beri kepada mereka, setidaknya saya masih bisa bercerita sedikit
tentang kehidupan keluarga kecil ini. Dan mudah-mudahan orang lain jadi bisa
tahu, bahwa masih banyak keluarga-keluarga sederhana seperti ini yang masih
bertahan hidup di tengah negeri yang konon katanya sangat kaya ini.
Panjang umur dan sehat selalu,
Pak Bambang dan keluarga! Juga kepada keluarga yang senasib dimanapun berada! Cukuplah
para bedebah koruptor dan para pemegang kuasa yang bertindak seenak jidatnya
itu yang mendapat doa terburuk dari umat manusia!
Semoga keluarga-keluarga seperti
mereka selalu berada dalam lindungan tuhan… aamiin.
![]() |
Dari Kanan ke Kiri: Saya, Keluarga Pak Bambang, dan Kawan dari Mataram (Foto: Dari Henpun Saya..hehe) |
Oiya, ada satu kalimat menarik yang
diucapkan sama pak Bambang waktu itu. Begini katanya, “Indonesia itu bukan
Indonesia kalo tidak korupsi!”
HAHAHAHAHAHA
0 komentar